Proses Rephrase dalam Membangun Budaya Perusahaan

Tidak ada organisasi yang tidak memiliki budaya. Apakah budaya tersebut positif atau negatif merupakan isu yang berbeda. Pertanyaannya, apakah kita dapat merumuskan satu budaya kerja positif yang pasti berhasil di semua jenis organisasi? Katakanlah Google adalah perusahaan yang memiliki budaya organisasi paling baik di dunia, apakah serta merta dapat kita adopsi seluruhnya di perusahaan kita? Sebagian besar dari Anda mungkin akan menjawab tidak dengan ragu-ragu. Tentu kita semua sepakat bahwa pribadi yang profesional memiliki serangkaian kompetensi yang relatif umum seperti komunikasi yang baik, mampu bekerja sama, dan mampu memimpin diri sendiri. Namun ini adalah masalah definisi, tentu saja bukan definisi menurut kamus, tetapi definisi menurut persepsi dan harapan para stakeholder.

 

Budaya yang positif adalah budaya yang relevan dengan visi, tantangan bisnis, dan harapan konsumen. Karenanya, budaya yang dikatakan positif di satu perusahaan bisa berbeda di perusahaan lain. Sebagaimana seperti setiap perusahaan memiliki visi yang berbeda, tantangan yang berbeda, karakter konsumen yang berbeda, dan tentu saja definisi sukses yang berbeda.

 

Tahap REPHRASE adalah tahap kita menetapkan tolok ukur keberhasilan, menerjemahkan budaya yang diinginkan ke dalam pernyataan nilai-nilai inti (core values) dan mengenali citra manajemen. Identifikasi citra manajemen dalam benak para karyawan perlu dilakukan untuk mengukur jarak antara karakter personal para pemimpin dengan budaya yang akan dibangun. Jika jarak yang ditemukan terlalu jauh, maka akan semakin banyak pula tugas-tugas yang harus dilakukan.

 

Tujuan dari tahap REPHRASE ini antara lain:

  1. Mengidentifikasi perilaku yang ingin dihilangkan
  2. Mengidentifikasi perilaku yang ingin ditumbuhkan
  3. Mendefinisikan nilai-nilai inti perusahaan yang selaras dengan visi perusahaan
  4. Mengidentifikasi keselarasan citra para pemimpin dan manajemen dengan nilai-nilai yang ingin dibangun
  5. Mengidentifikasi komposisi Unbelievers, Agnostic dan Believers

 

Kelima hal di atas akan menjadi dasar untuk tahap-tahap berikutnya yaitu REACH, RITUALS dan RULES. Jika kelima hal ini gagal kita identifikasi, maka tahapan-tahapan berikutnya akan berjalan tanpa tujuan. Dalam proses mengidentifikasi dan mendefinisikan kelima hal di atas, ada beberapa dimensi yang perlu dipahami terlebih dahulu, yaitu:

  1. Visi dan misi perusahaan
  2. Founder’s/Top Leader’s believe
  3. Business Nature
  4. Organization Aspiration

 

Khusus untuk visi dan misi, tentu akan lebih mudah jika perusahaan sudah memilikinya, namun tidak sedikit juga perusahaan yang menganggap remeh dan merasa bahwa visi dan misi tidak lebih dari sekedar pernyataan yang tidak penting untuk dirumuskan di awal perusahaan berdiri. Dalam kasus ini, proses rephrase akan menjadi sedikit lebih panjang karena perlu untuk dirumuskan terlebih dahulu.

 

Visi menjadi penting karena sekalipun hanya berbentuk satu sampai dua kalimat pernyataan, namun ini menjadi kompas bagi setiap organisasi dalam beroperasi; memberikan sebuah tujuan dari keberadaan kita. Sedangkan misi memperjelas bagaimana meraih visi tersebut. Sebelum menggunakan visi dan misi, sebaiknya perlu mengecek kembali bagaimana dan kapan visi dan misi perusahaan dibentuk. Apakah masih relevan? Apakah didasarkan pada pertimbangan dan analisis yang mendalam? Lalu, apakah masih relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi? Jika “tidak” adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka sebaiknya perlu melakukan revisi terlebih dahulu.

 

Pada dimensi budaya Edgar Schein, bagian paling dalam dari gunung es budaya adalah asumsi dasar (basic assumption). Inilah yang mendasari lahirnya rangkaian pernyataan visi, misi, dan gagasan dasar akan nilai-nilai dalam bekerja. Mengapa kita menitikberatkan pada asumsi dasar pendiri atau pemimpin? Karena signifikansi mereka dalam memberikan pengaruh baik secara otoritas maupun waktu. Asumsi dasar ini jarang disadari dan dideskripsikan, namun senantiasa diekspresikan dalam berbagai kesempatan seperti peraturan, kebijakan, fokus, bahkan nilai-nilai yang dirumuskan kemudian.

 

Sederhananya, asumsi dasar dapat disamakan dengan bagaimana para pemimpin/pendiri perusahaan memandang hidup, antara lain:

  1. Pandangan akan manusia
  2. Pandangan akan bisnis dan karier
  3. Pandangan akan kompetisi
  4. Pandangan akan alam
  5. Pandangan akan uang
  6. Pandangan akan diri sendiri
  7. Pandangan akan kekuasaan

 

Asumsi dasar ini juga terlepas dari karakter dan kepribadian yang ditunjukkan dalam pekerjaan sehari-hari. Seseorang bisa saja nampak keras dan kaku, tetapi sesungguhnya melakukannya karena ia ingin orang-orang yang dipimpinnya mampu mengeluarkan potensi terbaiknya. Yang perlu kita pahami adalah asumsi dasar ini merupakan hal yang paling melatarbelakangi berkembangnya berbagai tindakan, keputusan, dan kebijakan, seperti : kelonggaran akan peraturan, toleransi akan kesalahan, komposisi budgeting, manajemen risiko, pesan pemasaran, dan lain sebagainya.

Recommended Posts