Pentingnya Membangun Customer Focus dalam Perusahaan

Berfokus pada pelanggan menjadi sangat penting untuk kesuksesan bisnis. HubSpot Research menemukan bahwa 96% perusahaan yang berkembang menekankan bahwa customer satisfaction adalah komponen kunci untuk pertumbuhan mereka. Ini karena mereka mampu mempertahankan pelanggan yang loyal dan membedakan diri dari pesaing mereka. Dengan berfokus pada keberhasilan pelanggan, perusahaan memanfaatkan hubungan yang saling menguntungkan dengan pelanggan mereka. Walaupun mungkin tampak mudah, menciptakan perusahaan yang berfokus pada pelanggan bukanlah tugas yang mudah. Kebutuhan pelanggan terus berevolusi dan mengikuti perubahan terus-menerus.

 

Berikut rekomendasi dari 6 CEO yang menekankan customer focus dalam perusahaan mereka:

 

  1. Memecahkan kebutuhan pelanggan
    Sarah Nahm menciptakan Lever sebagai alat yang mudah digunakan yang membantu perusahaan tidak hanya mengidentifikasi top talenta, tetapi juga menyoroti orang-orang yang kemungkinan besar akan bertahan dengan perusahaan. Dengan memecahkan masalah-masalah khusus untuk para pelanggannya, Lever telah mampu mendapatkan tempat di Silicon Valley. Forbes memperkirakan Lever memiliki lebih dari 1.300 pelanggan dan menghasilkan lebih dari $20 juta. Selain itu, Nahm mampu mengumpulkan lebih dari $62 juta dari investor karena pendekatannya yang berfokus pada pelanggan.

 

  1. Selalu meningkatkan produk
    Paul Burke adalah CEO sebuah perusahaan pembuat konten digital bernama Guru. Guru adalah perusahaan yang terus mencari cara untuk meningkatkan produknya dan menggunakan saluran dukungannya untuk mendorong umpan balik terbuka dengan pelanggan. Ketika ditanya oleh Digital Media Update, Burke mencatat bahwa perusahaan akan berhasil jika “selalu berusaha untuk membuat produk yang lebih baik.” Oleh karena itu, perusahaan harus terus mengadaptasikan produknya dan mengoptimalkan kepuasan klien.

 

  1. Jadikan pelanggan bagian dari brand perusahaan
    Glossier adalah salah satu merek kecantikan dengan pertumbuhan tercepat di dunia yang memperoleh lebih dari $52 juta dalam pendanaan investor. Dalam sebuah wawancara dengan The Business of Fashion, Weiss menghubungkan kesuksesannya dengan bagaimana dia bisa membuat pelanggan merasa seperti bagian dari merek. Dalam wawancara yang sama, Weiss mencatat bahwa “60% orang Amerika bergantung pada rekomendasi teman” ketika membeli produk kecantikan. Dengan memasukkan suara pelanggan dalam blog Into the Gloss, Glossier memperoleh lebih dari satu juta pengikut Instagram hanya dalam tiga tahun.

 

  1. Mendengarkan umpan balik pelanggan
    Q10 Consultancy adalah konsultan pemasaran Eropa yang membantu pertumbuhan bisnis kecil. Martine Nierman, CEO Q10 Consultancy, menghubungkan kesuksesan perusahaannya dengan umpan balik pelanggannya. Dia menggunakan acara roundtable dan survei NPS untuk mengukur customer experience. Dia mengklaim umpan balik ini adalah roadmap perusahaannya dalam merancang dan meningkatkan produk. Selama tiga tahun, konsultan Q10 telah membuka enam kantor baru dan telah menjadi agen pemasaran internasional.

 

  1. Investasi untuk mengembangkan karyawan Anda
    ThinkLions adalah perusahaan perangkat lunak yang mengembangkan aplikasi dan membantu startup mendapatkan dana. CEO-nya, Mike Sims, percaya bahwa salah satu kekuatan unik perusahaan adalah fokus pada pelatihan karyawan. Karena banyak perusahaan, seperti ThinkLions, tidak dapat mempekerjakan staf dalam jumlah besar, Sims berfokus pada penyediaan pelatihan menyeluruh. Sims terus-menerus menciptakan pelatihan baru dan mencari peluang untuk mendidik pekerja mengenai industri yang dijalankan.

 

  1. Customer’s experience adalah kuncinya
    Brian Halligan, salah satu pendiri dan CEO HubSpot, membangun perusahaannya dengan berfokus pada customer’s experience. Pelanggan sekarang dapat menemukan sendiri semua informasi yang mereka butuhkan. Dia mencatat bahwa “sekarang customer’s experience Anda harus 10 kali lebih baik daripada pesaing Anda.” Untuk mencapai hal ini, HubSpot menyediakan proses onboarding yang luas untuk pengguna premium bersama dengan support channel 24/7. HubSpot juga menyediakan dokumen layanan mandiri dan manajer akun khusus untuk membantu pelanggan.

 

 

 

Referensi:

https://www.paulviio.com/what-is-customer-focus-how-to-become-customer-focused/

https://oroinc.com/orocrm/blog/6-strategies-to-improve-your-staffs-customer-focused-approach

https://www.toistersolutions.com/blog/2018/4/23/seven-simple-ways-to-improve-your-customer-focus

http://www.clicktools.com/the-top-10-ways-to-build-a-customer-focused-organization/

Dampak Budaya Perusahaan terhadap Kinerja dan Inovasi Perusahaan

Pernah meragukan pentingnya budaya perusahaan yang baik? Jika kita ingin melihat dampak budaya secara nyata, mungkin sulit, tetapi penelitian menunjukkan bahwa budaya perusahaan mempengaruhi segala aspek mulai dari kebahagiaan karyawan hingga profit bagi perusahaan. Ini membantu menjelaskan mengapa lebih dari 50% perusahaan dalam survei Global Human Capital Trends Deloitte tahun 2016 berusaha mengubah budaya mereka sebagai respons terhadap pergeseran minat pelamar dan meningkatnya persaingan. Budaya kini menjadi alasan pelamar dalam menyeleksi perusahaan yang ingin dilamar. Perusahaan pun memiliki keuntungan tersendiri jika dapat menerapkan budaya yang positif di tempat kerja.

 

Berikut beberapa dampak budaya perusahaan terhadap kinerja dan inovasi perusahaan:

 

  • Produktivitas meningkat

Jika orang merasa diwakili oleh budaya perusahaan Anda, mereka akan dapat membangun hubungan positif dengan tempat kerja Anda. Kepercayaan dan keberpihakan ini adalah kunci bagi karyawan yang engaged dan bahagia. Penelitian dari University of Warwick menunjukkan bahwa karyawan yang bahagia 12% lebih produktif, sedangkan karyawan yang tidak bahagia 10% kurang produktif. Singkatnya, budaya perusahaan sangat penting untuk mencapai produktivitas yang tinggi. Namun, jangan berharap untuk melihat hasilnya segera. Penerapan budaya perusahaan membutuhkan waktu dan kerja sama antardepartemen untuk menumbuhkan nilai-nilai budaya tersebut.

 

  • Sasaran bisnis dapat didukung

Akademisi di Universitas Duke dan Universitas Columbia mewawancarai 1.348 pemimpin Amerika Utara untuk makalah penelitian mereka “Corporate Culture: Evidence from the Field”. Berikut ini beberapa temuan mereka: “Banyak pemimpin percaya bahwa budaya berkontribusi lebih banyak pada nilai perusahaan daripada strateginya.” Alasannya karena meskipun strategi Anda tidak sempurna, budaya yang kuat akan membantu membuat semua orang berbaris mengikuti irama yang sama. Orang-orang akan tetap di jalurnya, berusaha menuju sasaran perusahaan secara keseluruhan.

 

  • Kinerja bisnis dapat ditingkatkan

Setelah penelitian bertahun-tahun, John Kotter menemukan bahwa perusahaan yang memberdayakan orang-orang mereka untuk menjalani budaya perusahaan, secara signifikan mengungguli perusahaan yang tidak melakukannya. Jaringan hotel mewah yang terjangkau seperti YOTEL adalah contoh yang bagus dalam praktik ini. YOTEL memiliki budaya perusahaan yang kaya dan meyakini pentingnya menjalankan nilai-nilai perusahaan di tempat kerja setiap hari. Mereka sangat berhati-hati dalam mewujudkan hal ini dan terus tumbuh dengan sukses di seluruh dunia. Secara internal, mereka telah mengembangkan  layanan yang dibuat secara kolaboratif oleh 150 anggota staf. Ini mencakup 31 praktik yang sangat sederhana dan mereka melakukan satu praktik untuk sehari dalam sebulan. Dengan memperkuat 31 praktik ini, staf YOTEL tetap setia pada brand values dan memberikannya kepada tamu hotel mereka. Jaringan hotel yang berkembang menyediakan tingkat layanan yang konsisten dan luar biasa bagi pelanggan mereka secara internasional.

 

 

Dampak budaya perusahaan jauh melampaui kebahagiaan karyawan. Budaya perusahaan yang baik akan meningkatkan produktivitas, kinerja, dan customer experience. Budaya perusahaan dapat menjadi nilai jual bagi pihak internal maupun eksternal sehingga akan mengembangkan inovasi bagi perusahaan ke depannya.

 

 

 

Referensi:

https://www.businessballs.com/organisational-culture/organisational-culture-and-employee-performance/

https://smallbusiness.chron.com/organizational-culture-employee-performance-25216.html

https://iiste.org/Journals/index.php/%20EJBM/article/view/16864

Membangun Budaya Perusahaan dengan 4R

Istilah yang sering digunakan dalam pengembangan budaya perusahaan adalah transformasi, yang merujuk pada makna perubahan menyeluruh dan fundamental. Seperti pada umumnya, pasti ada pihak yang menyambut perubahan dengan baik, ada juga yang resah, bahkan menolak. Pertama, kita harus mengakui bahwa tidak semua orang akan cocok dengan budaya yang dibangun. Beberapa akan gugur sebelum bergabung, sebagian lagi bisa rontok dalam proses transformasi tersebut. Namun, harus kita pahami bahwa selain sebagai pengikat, budaya sejatinya memiliki sebuah fungsi sebagai filter. Ya, sebagai penyaring! Mereka yang tidak sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang dibangun, akan terpisah dari mereka yang selaras.   Model pengembangan budaya disebut dengan kerangka kerja 4R, yang digunakan dalam membangun budaya perusahaan yang relevan secara sistematis. 4R adalah kepanjangan dari Rephrase, Reach, Rituals dan Rules, berikut penjelasannya:  
  • REPHRASE Tahap kita menetapkan tolok ukur keberhasilan, menerjemahkan budaya yang diinginkan ke dalam pernyataan nilai-nilai inti (core values), dan mengenali citra manajemen. Identifikasi citra manajemen dalam benak para karyawan perlu dilakukan untuk mengukur jarak antara karakter personal para pemimpin dengan budaya yang akan dibangun. Jika jarak yang ditemukan terlalu jauh, maka akan semakin banyak pula tugas yang harus dilakukan. Rephrase adalah satu-satunya fase yang wajib dilakukan di awal, sebagai permulaan keseluruhan program kerja pengembangan budaya kita. Namun ketiga R selanjutnya dapat kita laksanakan secara paralel sesuai dengan kapasitas dan prioritas masing-masing perusahaan.
 
  • REACH Setelah kita mengidentifikasi core values dan perilakunya, kini tugas berikutnya adalah mengomunikasikannya. Hal ini penting karena kita tahu bahwa sebuah perilaku dapat terbentuk jika kita terus-menerus menyampaikannya. Kami selalu mengatakan bahwa tahap ini kurang lebih sama dengan filosofi pemasaran; dalam pemasaran kita mempersuasi konsumen untuk beralih pada produk kita. Intinya adalah mengubah perilaku orang lain dengan persuasi. Demikian juga, kita mengomunikasikan nilai-nilai inti (core values) dan perilaku yang diinginkan dalam perusahaan. Mengomunikasikan nilai-nilai inti ini tentu membutuhkan strategi yang tepat, media yang relevan, dan komunikator yang efektif. Mengapa 3 hal ini penting dalam mengomunikasikan nilai inti kita? Karena budaya bukan milik satu level atau unit tertentu saja, kita ingin seluruh komponen perusahaan dapat merefleksikan nilai-nilai inti dalam setiap kegiatannya. Karena itu, setiap level dan unit bisa saja membutuhkan pendekatan yang berbeda.
 
  • RITUALS Sebuah budaya tidak bisa dilepaskan dari rangkaian aktivitas yang secara konsisten dilakukan secara berkala. Ini yang disebut dengan ritual. Ritual selain memiliki fungsi untuk mengaktifkan nilai-nilai inti, juga sebagai kegiatan monumental yang menjadi pengingat. Ritual juga menjadi penanda bahwa budaya itu ada untuk menunjukkan:
    • apa yang kita anggap penting
    • apa yang kita hargai
    • apa yang kita ingin semua orang miliki
      Aktivitas yang dapat dijadikan ritual contohnya: pelatihan, induksi, perayaan, pertemuan-pertemuan, dan masih banyak lagi. Selanjutnya, bagaimana ritual diterjemahkan menjadi berbagai kegiatan menarik yang akan mengernyitkan dahi para pemimpin bisnis yang masih berpola pikir konservatif.
 
  • RULES Sebuah budaya pasti memiliki norma. Norma berbicara tentang apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang pantas dan yang tidak. Sebagaimana sebuah norma, ada yang dituangkan secara tertulis dalam peraturan, namun ada juga yang tidak tertulis. Norma juga menunjukkan standar kepantasan, misalnya pria berumur 30 tahun seharusnya sudah memiliki pekerjaan tetap. Demikian juga dalam konteks budaya perusahaan, apa standar kepantasan yang semestinya diraih seseorang jika sebuah nilai inti benar-benar terwujud dalam aktivitasnya? Outcome dari RULES adalah peraturan, prosedur, target pekerjaan, dan berbagai management tools yang banyaknya lagi-lagi akan disesuaikan dengan kapasitas dan prioritas masing-masing perusahaan.

Proses Rephrase dalam Membangun Budaya Perusahaan

Tidak ada organisasi yang tidak memiliki budaya. Apakah budaya tersebut positif atau negatif merupakan isu yang berbeda. Pertanyaannya, apakah kita dapat merumuskan satu budaya kerja positif yang pasti berhasil di semua jenis organisasi? Katakanlah Google adalah perusahaan yang memiliki budaya organisasi paling baik di dunia, apakah serta merta dapat kita adopsi seluruhnya di perusahaan kita? Sebagian besar dari Anda mungkin akan menjawab tidak dengan ragu-ragu. Tentu kita semua sepakat bahwa pribadi yang profesional memiliki serangkaian kompetensi yang relatif umum seperti komunikasi yang baik, mampu bekerja sama, dan mampu memimpin diri sendiri. Namun ini adalah masalah definisi, tentu saja bukan definisi menurut kamus, tetapi definisi menurut persepsi dan harapan para stakeholder.

 

Budaya yang positif adalah budaya yang relevan dengan visi, tantangan bisnis, dan harapan konsumen. Karenanya, budaya yang dikatakan positif di satu perusahaan bisa berbeda di perusahaan lain. Sebagaimana seperti setiap perusahaan memiliki visi yang berbeda, tantangan yang berbeda, karakter konsumen yang berbeda, dan tentu saja definisi sukses yang berbeda.

 

Tahap REPHRASE adalah tahap kita menetapkan tolok ukur keberhasilan, menerjemahkan budaya yang diinginkan ke dalam pernyataan nilai-nilai inti (core values) dan mengenali citra manajemen. Identifikasi citra manajemen dalam benak para karyawan perlu dilakukan untuk mengukur jarak antara karakter personal para pemimpin dengan budaya yang akan dibangun. Jika jarak yang ditemukan terlalu jauh, maka akan semakin banyak pula tugas-tugas yang harus dilakukan.

 

Tujuan dari tahap REPHRASE ini antara lain:

  1. Mengidentifikasi perilaku yang ingin dihilangkan
  2. Mengidentifikasi perilaku yang ingin ditumbuhkan
  3. Mendefinisikan nilai-nilai inti perusahaan yang selaras dengan visi perusahaan
  4. Mengidentifikasi keselarasan citra para pemimpin dan manajemen dengan nilai-nilai yang ingin dibangun
  5. Mengidentifikasi komposisi Unbelievers, Agnostic dan Believers

 

Kelima hal di atas akan menjadi dasar untuk tahap-tahap berikutnya yaitu REACH, RITUALS dan RULES. Jika kelima hal ini gagal kita identifikasi, maka tahapan-tahapan berikutnya akan berjalan tanpa tujuan. Dalam proses mengidentifikasi dan mendefinisikan kelima hal di atas, ada beberapa dimensi yang perlu dipahami terlebih dahulu, yaitu:

  1. Visi dan misi perusahaan
  2. Founder’s/Top Leader’s believe
  3. Business Nature
  4. Organization Aspiration

 

Khusus untuk visi dan misi, tentu akan lebih mudah jika perusahaan sudah memilikinya, namun tidak sedikit juga perusahaan yang menganggap remeh dan merasa bahwa visi dan misi tidak lebih dari sekedar pernyataan yang tidak penting untuk dirumuskan di awal perusahaan berdiri. Dalam kasus ini, proses rephrase akan menjadi sedikit lebih panjang karena perlu untuk dirumuskan terlebih dahulu.

 

Visi menjadi penting karena sekalipun hanya berbentuk satu sampai dua kalimat pernyataan, namun ini menjadi kompas bagi setiap organisasi dalam beroperasi; memberikan sebuah tujuan dari keberadaan kita. Sedangkan misi memperjelas bagaimana meraih visi tersebut. Sebelum menggunakan visi dan misi, sebaiknya perlu mengecek kembali bagaimana dan kapan visi dan misi perusahaan dibentuk. Apakah masih relevan? Apakah didasarkan pada pertimbangan dan analisis yang mendalam? Lalu, apakah masih relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi? Jika “tidak” adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka sebaiknya perlu melakukan revisi terlebih dahulu.

 

Pada dimensi budaya Edgar Schein, bagian paling dalam dari gunung es budaya adalah asumsi dasar (basic assumption). Inilah yang mendasari lahirnya rangkaian pernyataan visi, misi, dan gagasan dasar akan nilai-nilai dalam bekerja. Mengapa kita menitikberatkan pada asumsi dasar pendiri atau pemimpin? Karena signifikansi mereka dalam memberikan pengaruh baik secara otoritas maupun waktu. Asumsi dasar ini jarang disadari dan dideskripsikan, namun senantiasa diekspresikan dalam berbagai kesempatan seperti peraturan, kebijakan, fokus, bahkan nilai-nilai yang dirumuskan kemudian.

 

Sederhananya, asumsi dasar dapat disamakan dengan bagaimana para pemimpin/pendiri perusahaan memandang hidup, antara lain:

  1. Pandangan akan manusia
  2. Pandangan akan bisnis dan karier
  3. Pandangan akan kompetisi
  4. Pandangan akan alam
  5. Pandangan akan uang
  6. Pandangan akan diri sendiri
  7. Pandangan akan kekuasaan

 

Asumsi dasar ini juga terlepas dari karakter dan kepribadian yang ditunjukkan dalam pekerjaan sehari-hari. Seseorang bisa saja nampak keras dan kaku, tetapi sesungguhnya melakukannya karena ia ingin orang-orang yang dipimpinnya mampu mengeluarkan potensi terbaiknya. Yang perlu kita pahami adalah asumsi dasar ini merupakan hal yang paling melatarbelakangi berkembangnya berbagai tindakan, keputusan, dan kebijakan, seperti : kelonggaran akan peraturan, toleransi akan kesalahan, komposisi budgeting, manajemen risiko, pesan pemasaran, dan lain sebagainya.

Manfaat Budaya Perusahaan yang Kuat

Berdasarkan data penelitian oleh Deloitte, 94% eksekutif dan 88% karyawan percaya budaya perusahaan sangat penting untuk kesuksesan bisnis. Survei Deloitte juga menemukan bahwa ada korelasi kuat antara karyawan yang mengaku merasa bahagia dan dihargai di tempat kerja, dengan mereka yang mengatakan perusahaan mereka memiliki budaya yang kuat.

 

Ada alasan mengapa perusahaan-perusahaan yang dinobatkan sebagai ‘perusahaan yang terbaik’ menjadi sangat sukses. Organisasi-organisasi ini cenderung memiliki budaya perusahaan yang kuat dan positif yang membantu karyawan merasakan dan melakukan yang terbaik di tempat kerja.

 

Mengapa budaya perusahaan merupakan bagian penting dari bisnis? Berikut beberapa manfaat dari budaya perusahaan yang kuat:

 

  • Recruitment

Budaya positif memberi organisasi keunggulan kompetitif. Orang ingin bekerja untuk perusahaan dengan reputasi baik dari karyawan sebelumnya dan saat ini. Perusahaan dengan budaya positif akan menarik calon karyawan yang berbakat dan bersedia menjadikan tempat kerja mereka berikutnya sebagai rumah, bukan sekadar batu loncatan.

 

  • Loyalitas karyawan

Budaya positif tidak hanya akan membantu upaya rekrutmen, namun juga akan membantu mempertahankan talenta terbaik. Budaya positif menumbuhkan rasa loyalitas karyawan. Karyawan jauh lebih mungkin untuk tinggal dengan atasan mereka saat ini ketika mereka merasa diperlakukan dengan benar dan menikmati bekerja setiap hari.

 

  • Kepuasan kerja

Tidak mengherankan bahwa kepuasan kerja lebih tinggi di perusahaan dengan budaya perusahaan yang positif. Pengusaha yang berinvestasi dalam kesejahteraan karyawan mereka akan dihargai dengan karyawan yang bahagia dan berdedikasi.

 

  • Kolaborasi

Karyawan jauh lebih mungkin untuk berkumpul bersama sebagai sebuah tim di perusahaan dengan budaya yang kuat. Budaya positif memfasilitasi interaksi sosial, kerja tim, dan komunikasi terbuka. Kolaborasi ini dapat menghasilkan beberapa hasil yang luar biasa.

 

  • Performa kerja

Budaya perusahaan yang kuat telah dikaitkan dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Ini karena karyawan cenderung lebih termotivasi dan berdedikasi untuk atasan yang berinvestasi dalam kesejahteraan dan kebahagiaan mereka.

 

  • Moral karyawan

Mempertahankan budaya perusahaan yang positif adalah cara yang dijamin untuk meningkatkan moral karyawan. Karyawan secara alami akan merasa lebih bahagia dan lebih menikmati pekerjaan mereka ketika mereka bekerja di lingkungan yang positif.

 

  • Kurangnya stres kerja

Budaya perusahaan yang positif akan membantu mengurangi stres di tempat kerja secara signifikan. Perusahaan dengan budaya perusahaan yang kuat cenderung membantu meningkatkan kesehatan karyawan dan kinerjanya.

 

 

Budaya perusahaan tumbuh dari akar yang terbentuk dari praktek sehari-hari, tradisi, kepercayaan, dan program yang ada di lingkungan kerja. Oleh karena itu, membangun perilaku yang positif sangat penting sebagai fondasi terbentuknya budaya yang kuat sehingga membuat perusahaan menjadi lebih maju dan berkembang.

 

 

 

Referensi:

https://www.forbes.com/sites/alankohll/2018/08/14/how-to-build-a-positive-company-culture/#745ab36149b5

http://companyculture.com/141-the-benefits-of-a-good-organization-culture/

https://www.15five.com/blog/10-questions-to-create-a-workplace-culture/

Peran Pemimpin dalam Membentuk Budaya Perusahaan

Setiap hari pemimpin memiliki kemampuan untuk meningkatkan atau menghancurkan organisasinya. Melalui tindakan dan keputusan mereka, para pemimpin mengatur nada untuk budaya perusahaan. Tetapi seberapa berhargakah kepemimpinan efektif yang terkait dengan keberhasilan suatu perusahaan? Sebuah studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Deloitte, berusaha mengungkapkan hal itu dengan mengukur secara kuantitatif kepemimpinan dalam hal ekuitas jangka panjang bagi suatu organisasi.

 

Untuk melakukan penelitian, Deloitte meminta analis untuk mengevaluasi kepemimpinan melalui kacamata tiga tanggung jawab utama: (i) menetapkan arah, (ii) melaksanakan strategi, dan (iii) menciptakan lingkungan untuk inovasi. Ditemukan bahwa kualitas kepemimpinan senior memiliki dampak yang terukur apakah perusahaan akan berhasil.

 

Rata-rata, organisasi yang dianggap memiliki kepemimpinan yang tidak efektif berada pada diskon ekuitas 19%. Perusahaan dengan kepemimpinan yang efektif, di sisi lain, memperlihatkan premi ekuitas hingga 15%. “Kami melihat kualitas manajemen [perusahaan] dan rekam jejak orang-orang yang memimpinnya dan apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Dapat dikatakan bahwa mereka mampu menambah 25-30% lagi nilai perusahaan,” kata seorang responden. Menurut analis, efektivitas kepemimpinan senior lebih penting daripada perkiraan pendapatan dan analisis rasio. Dan salah satu faktor terbesar yang dapat menghambat kemampuan pemimpin untuk secara efektif mendorong hasil adalah gagal dalam menyelaraskan, bertindak, atau menjunjung tinggi nilai-nilai organisasi.

 

Budaya, kepemimpinan, dan strategi adalah tiga serangkai yang diperlukan untuk hubungan kerja yang efektif dan mengarahkan organisasi menuju kesuksesan. Kepemimpinan dan budaya dapat memberikan keunggulan yang kompetitif bagi organisasi jika dapat dikoordinasikan dengan baik. Sebaliknya, kepemimpinan yang buruk dapat memperkuat nilai-nilai, perilaku, dan sikap yang salah, menciptakan gangguan yang dapat membentuk budaya beracun, serta menciptakan perselisihan antara citra dan operasional organisasi.

 

Di bawah ini adalah tiga hal utama yang mencerminkan perpaduan antara pemimpin dan budaya merupakan hal terpenting:

 

  • Seorang pemimpin perlu menyelaraskan diri dengan budaya dan model perilaku yang diinginkan
    Budaya organisasi tidak selalu “benar”, namun pendekatan seorang pemimpin juga tidak bisa salah. Perilaku pemimpin menentukan nada bagi organisasi. Nilai-nilai pemimpin, tindakan, dan pengembangan tim mereka perlu secara nyata memperkuat budaya organisasi. Melalui contoh yang mereka tetapkan, para pemimpin membentuk budaya dalam kata-kata dan tindakan mereka setiap hari. Tindakan ini kemudian menciptakan momentum melalui struktur dan kebijakan untuk membentuk cara karyawan beroperasi.

 

  • Seorang pemimpin perlu memahami kecocokannya dalam budaya dan menggunakan kesadaran itu untuk mendorong perubahan positif
    Beberapa pemimpin cenderung “mengikuti arus,” memanfaatkan saluran yang ada untuk menyelesaikan sesuatu. Yang lain cenderung bergerak di luar proses tradisional, memanfaatkan nilai atau perilaku yang berbeda untuk mencapai hasil. Para pemimpin yang menyadari tempat mereka dalam budaya yang ada mampu lebih efektif mendorong perubahan. Seorang pemimpin yang efektif menggunakan kesadaran diri ini untuk menginformasikan pendekatan yang disengaja ke arah pengambilan keputusan sehari-hari, mengarahkan bahwa setiap tindakan membentuk budaya di tempat mereka beroperasi.

 

  • Seorang pemimpin perlu terhubung dengan hati dan pikiran karyawan, serta selaras dengan tujuan bersama
    Seperti yang dibahas dalam pemikiran kepemimpinan yang ditampilkan di situs web CulturePath Deloitte, emosi adalah kekuatan pendorong dibalik perilaku manusia, lebih dari sekadar perhitungan rasional. Untuk membentuk dan mempertahankan budaya organisasi, para pemimpin perlu terhubung dengan sisi emosional tenaga kerja, menciptakan tujuan dan motivasi bersama.

 

 

 

Referensi:

https://www.chpso.org/post/role-leadership-shaping-culture

https://www.linkedin.com/pulse/role-leadership-shaping-organizational-culture-momen

https://qz.com/839382/three-ways-leaders-should-shape-culture/

Keuntungan Transformasi Budaya Perusahaan yang Solid

“What’s in it for me?” Pembahasan budaya perusahaan seolah lebih banyak memberikan keuntungan bagi pemilik atau pemimpin perusahaan. Jangan salah, budaya tidak hanya menguntungkan bagi mereka yang berada di puncak manajemen. Budaya perusahaan yang sehat tidak mendikotomikan manfaat berdasarkan level dalam struktur. Beberapa orang tidak menyukai pekerjaannya karena merasa hari-harinya dipenuhi dengan tugas, kewajiban, dan target yang hanya memberikan keuntungan terhadap pemilik atau orang-orang tertentu saja.

 

“Ah, kita mau kerja bagus pun juga akan tetap begini-begini saja Pak.” Sebuah pernyataan skeptis seorang manajer dalam sebuah lokakarya awal program di sebuah perusahaan. Apa yang dikatakan manajer ini sejenak menurunkan rasa optimisme terhadap keberhasilan program yang akan kami lakukan. Manajer ini termasuk pada golongan Unbelievers jika bukan Agnostic. Namun, kenyataannya memang pendapatnya relevan dengan situasi yang dihadapi.

 

Kita sepakat bahwa apa yang menjadi hambatan bagi seseorang untuk berubah atau terlibat dalam sebuah kegerakan adalah kurangnya alasan yang menjadi motivasi. Harus diakui bahwa motivator paling dasar adalah uang, sekalipun bukan yang utama dan bukan pula yang paling powerful. Istilah “begini-begini saja” yang dikemukakan oleh manajer tersebut punya makna yang luas : gaji, jabatan, fasilitas, kesempatan, bahkan status quo yang dipertahankan oleh para pemimpin. Jika situasi ini terjadi berulang, tidak heran jika motivasi karyawan akan berkurang saat diajak untuk terlibat melakukan perubahan.

 

Namun kita juga perlu mengakui bahwa perusahaan juga memiliki keterbatasan untuk selalu memberikan insentif dalam bentuk uang, jabatan, atau fasilitas, walaupun kami sangat mendorongnya jika itu memungkinkan. Sekalipun begitu, kita seharusnya memandang harapan ini dengan proporsional. Di satu sisi, kita perlu mengakui bahwa insentif dalam bentuk material adalah hal yang penting. Tapi kita juga sepakat bahwa insentif material bukan hal yang fundamental, dampaknya sesaat dan kurang mendasar.

 

Perubahan yang menetap bahkan revolusioner dilandasi oleh adanya tujuan yang fundamental, antara lain:

 

  1. Tujuan yang mulia. Tujuan seseorang bekerja berbeda-beda di tiap generasi bergantung pada tantangan jaman. Jika generasi X bekerja untuk bertahan hidup, cenderung mengikuti “jalan normal” untuk meniti karier dan berdamai dengan “garis nasib”, kini para millenials akan merasa resah ketika ia merasa semua kerja kerasnya hanya untuk mewujudkan mimpi orang lain seperti memperkaya pemilik perusahaan. Namun, ketika mereka merasa bahwa “bekerja” berarti terlibat dalam sebuah misi besar yang dapat berdampak luar biasa bagi dunia, mereka akan merasa “lebih berarti”. Tujuan inilah yang menjadi penggerak mereka, rasa berkontribusi dalam sebuah tujuan mulia memberikan bahan bakar bagi mereka untuk terlibat dalam pengembangan budaya dalam perusahaan.

 

  1. Keleluasaan untuk mengungkapkan pendapat dan berkontribusi dengan cara yang mereka percayai meningkatkan rasa tanggung jawab. Pada dasarnya, keterlibatan mereka dalam merumuskan berbagai hal dalam pekerjaan meningkatkan rasa memiliki. Situasi ini memberi kesempatan bagi mereka untuk lebih bertanggung jawab akan pilihannya sendiri.

 

Jadi dapat kita petakan bahwa dalam membawa seseorang atau suatu kelompok untuk mau terlibat aktif dalam sebuah perubahan, diperlukan beberapa pendorong yang berfungsi sebagai motivator.

 

Faktor Pendorong

Level

Cara Kerja

Metode

Materi – Finansial, karier, kesempatan

Kebutuhan sehari-hari/ jasmani

1.       Menciptakan momentum sesaat

2.       Membangun antusiasme

1.       Rekognisi dan apresiasi

2.       Target & mekanisme yang jelas

3.       Nilai yang rasional

Ikatan emosi – Hubungan

Kebutuhan emosional

1.       Menjaga momentum

2.       Membangun keterikatan

1.       Kejujuran & keterbukaan

2.       Keterlibatan & empati

Visi dan tujuan

Kebutuhan spiritual

1.       Menjaga momentum

2.       Membangun rasa memiliki

1.       Membangun narasi

2.       Merayakan keberhasilan

3.       Kesempatan menyampaikan dan mewujudkan gagasan

 

Karenanya, kami selalu menyarankan setiap perusahaan untuk terlebih dulu memenuhi kewajibannya dalam hal material. Apakah struktur gaji yang diterapkan perusahaan telah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Apakah perusahaan telah memberikan seluruh fasilitas dasar yang diwajibkan? Kenyataannya, pemenuhan kewajiban ini sekalipun berat sesungguhnya adalah wujud teladan yang ditunjukkan perusahaan. Akan menjadi pertanyaan jika manajemen mengomunikasikan sebuah nilai kepatutan dan menuntut ketaatan, namun di saat yang bersamaan perusahaan tidak taat terhadap undang-undang yang diwajibkan. Hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan karyawan terhadap manajemen.

 

Hal ini penting saya sampaikan karena dalam membangun budaya kita harus memahami minimal dua sudut pandang utama, yaitu sudut pandangan karyawan sekaligus sudut pandang pemimpin strategis perusahaan. Dua sudut pandang ini perlu dipahami agar kita dapat berpikir lebih menyeluruh sehingga pendekatan dan narasi yang dibangun lebih efektif.

Pengaruh Budaya Organisasi dalam Peningkatan Kinerja

Mengapa repot-repot menaruh perhatian pada budaya perusahaan? Bukankah bagaimanapun budaya sudah terbentuk?

 

Beberapa pemimpin perusahaan datang dengan pernyataan “Budaya kantor saya kurang bagus, perlu diperbaiki dan saya tidak tahu caranya”. Seperti biasa pernyataan ini muncul bahkan sebelum kami berbicara tentang definisi budaya organisasi. Artinya mereka sudah memiliki pemahaman sendiri tentang budaya. Ketika kami bertanya apa yang dimaksud dengan ‘budaya yang kurang bagus’? Pada dasarnya mereka mengaitkannya dengan etos kerja, inisiatif, terobosan, dan rasa memiliki. Lalu apa yang akan terjadi jika karyawan memiliki semua sikap itu? Semua berujung pada pencapaian perusahaan.

 

Jadi, secara mendasar para pemimpin atau pemilik perusahaan percaya bahwa budaya erat kaitannya dengan peningkatan kinerja. Lalu, bagaimana dengan pekerja?

 

Seperti pada kasus wawancara di atas, seorang pencari kerja mengutamakan lingkungan kerja yang sehat dalam memilih perusahaan. Mengapa mereka tidak mengutamakan gaji? Alasannya karena mereka percaya lingkungan kerja yang baik dapat membuat mereka bekerja dengan baik pula. Lagi-lagi kesimpulannya adalah kualitas kinerja.

 

Namun, apakah persepsi ini benar? Benarkah budaya perusahaan yang baik akan membuat perusahaan semakin produktif?

 

Sebuah penelitian, yang dirilis oleh Forbes, menyatakan bahwa turnover pada perusahaan dengan budaya yang buruk adalah 48%, sedangkan pada perusahaan dengan budaya yang baik hanya sebesar 14%. Di sisi lain, Willis Tower Watson menemukan dalam penelitiannya bahwa biaya untuk mengganti karyawan dengan performa yang baik pada titik ekstrimnya bisa mencapai 200 kali gaji orang tersebut. Ke mana saja biaya itu keluar? Bayangkan proses rekrutmen yang terus menerus, produktivitas yang berkurang, waktu beradaptasi, dan gagasan yang terbuang, bahkan ide yang menjadi milik perusahaan lain.

 

Kembali kepada penelitian yang dirilis Forbes, pekerja yang bahagia 12% lebih produktif dibandingkan karyawan yang ‘biasa-biasa’ saja, sementara pekerja yang yang tidak bahagia produktivitasnya lebih rendah 10%. Pada penelitian yang sama, karyawan dengan engagement yang lebih kuat rata-rata membuat pendapatan perusahaan meningkat sebesar 28%.

 

Menurut Willis Towers Watson Studies, 50% perusahaan di dunia mengalami kesulitan untuk mempertahankan talenta-talenta terbaiknya. Penelitian hayes.com menyatakan bahwa 43% talenta yang mengajukan pengunduran diri, memiliki alasan yang berkaitan dengan budaya perusahaan, sementara hanya 12% yang mengundurkan diri karena upah.

 

Beberapa penelitian di atas hanya sebagian dari berbagai temuan akademis yang menunjukkan kaitan budaya dengan performa perusahaan. Richard Branson pernah mengatakan “Create a workplace and company culture that will attract great talent. If you hire brilliant people, they will make work feel more like play”, artinya penting bagi kita membangun budaya perusahaan yang mampu menarik talenta-talenta hebat karena mereka akan memberikan kinerja yang luar biasa.

 

Tony Hsieh, CEO Zappos yang sering disebut sebagai revolusioner dalam budaya perusahaan mengatakan “Good service comes naturally from employee who embraced the company culture” atau pelayanan prima akan tersampaikan secara tulus kepada pelanggan oleh karyawan yang mencintai budaya perusahaannya. Lain lagi dengan Brian Chesky, pendiri airbnb, yang sukses melakukan disrupsi di industri perhotelan. Ia menyatakan bahwa “A Company’s culture is the foundation for future innovation. An entrepreneur job is to build the foundation”, maksudnya bahwa budaya perusahaan adalah fondasi inovasi masa depan dan tugas seorang entrepreneur adalah membangun fondasi tersebut.

 

Dari penelitian dan pendapat para pemimpin bisnis di atas, menunjukkan bahwa pendapat budaya organisasi memberikan pengaruh pada pencapaian perusahaan memang benar adanya. Singkatnya dapat diilustrasikan dengan alur sebagai berikut:

 

Budaya yang baik membantu orang-orang dalam perusahaan untuk bekerja lebih baik, talenta yang mencintai budaya perusahaan akan memiliki engagement yang aktif sehingga dapat memberikan kinerja yang produktif. Kita sudah menyinggung bagaimana budaya yang kuat dapat menarik talenta hebat dan mempertahankannya. Lalu, bagaimana dengan individu yang sudah telanjur berada dalam perusahaan, namun tidak memiliki sikap kerja yang sesuai dengan budaya yang akan kita bangun?

Dimensi dan Elemen Budaya Perusahaan

Edgar Schein menganalogikan budaya perusahaan sebagai gunung es, yang tampak hanya sebagian dari keseluruhan aspeknya. Apa yang kita lihat saat berinteraksi, poster-poster, dan kata-kata mutiara yang ditunjukkan di kantor merupakan sebagian kecil penanda budaya. Dalam beberapa kasus, ini bahkan hanya retorika. Kebanyakan perusahaan akan menuliskan tentang integritas, kerja sama tim, dan orientasi mereka pada kepuasan pelanggan. Jargon-jargon ini penting, bahkan sangat penting, namun budaya tidak berhenti sampai di situ.

 

Schein membagi budaya organisasi ke dalam 3 level, yaitu:

 

  1. Visible – terlihat. Dimensi budaya yang terlihat ditandai dengan segala hal yang dapat kita lihat dan rasakan oleh indera seperti: jargon perusahaan, pernyataan nilai-nilai inti, anthem atau lagu identitas perusahaan, desain kantor, seragam, dan visualisasi akan nilai-nilai yang dianut seperti poster dinding yang berisi kutipan inspiratif. Hal-hal tersebut disebut juga dengan artefak, atau komponen-komponen visual yang menunjukkan keunikan identitas suatu budaya dibandingkan dengan budaya lainnya.

 

  1. Invisible – Tidak terlihat. Prinsip, nilai, dan persepsi akan benar atau tidaknya suatu sikap dalam organisasi. Dimensi ini ditandai dengan gaya bicara atau berkomunikasi, peraturan-peraturan tidak tertulis, kebiasaan maupun peraturan tertulis yang mengatur seputar etika dan sikap kerja. Pada dimensi ini pula, nilai-nilai inti perusahaan atau core values dijabarkan menjadi definisi yang lebih elaborative dan perilaku-perilaku kunci.

 

  1. Subconscious – Di bawah kesadaran. Dimensi ini yang paling sulit didefinisikan, bahkan terkadang tidak disadari oleh si pemilik budaya. Sering kali sudah menjadi pola pikir tanpa perlu dipertanyakan. Schein menyebut dimensi ini sebagai asumsi dasar atau paradigma yang dimiliki setidaknya oleh orang-orang yang berpengaruh dalam organisasi tersebut. Ketidaksadaran ini menjadi sumber lahirnya visi, nilai, dan seluruh atribut budaya. Contoh asumsi dasar yang dimaksud seperti pandangan terhadap manusia atau karyawan. Beberapa orang melihat manusia sebagai entitas yang cenderung menyimpang jika tidak dikelola dengan keras. Sebagian lainnya melihat manusia sebagai entitas yang cenderung melakukan kebaikan, penuh potensi, dan memiliki naluri positif tanpa harus dikerasi.

 

Sekalipun budaya sering kali lahir tanpa terencana, pada dasarnya mereka terbentuk dari elemen yang sama. Yang menjadi tugas kita dalam mengembangkan budaya perusahaan adalah menyelaraskan semua elemen ini secara sistematis sesuai dengan budaya yang ingin kita bangun. Ada beberapa pendapat mengenai elemen yang mempengaruhi budaya, berikut ini adalah elemen inti yang menurut kami menjadi kunci dari budaya yang kuat:

 

  1. Tujuan (Purpose). Sering kali terdefinisikan dalam pernyataan visi dan misi. Untuk apa perusahaan atau organisasi ada? Perubahan apa yang ditawarkan oleh perusahaan ini? Atau, apa yang akan hilang dari dunia jika perusahaan ini berhenti beroperasi? Visi dan misi memberi arah yang jelas ke mana sebuah perusahaan bergerak, sekaligus sebagai dasar evaluasi apakah selama ini kita melakukan hal yang tepat. Visi dan misi yang jelas juga memberikan fokus pada apa yang penting dan tidak. Tanpa kejelasan visi dan misi sebagai panduan, sebuah perusahaan akan kehilangan identitasnya.

 

  1. Nilai-nilai inti (Core values). Tidak hanya serangkaian kata-kata yang terpasang di dinding sebagai artefak, namun prinsip dasar mengapa setiap orang dalam perusahaan menunjukkan perilaku tertentu. Nilai-nilai ini akan berperan sebagai penuntun yang jelas jika dilaksanakan dengan konsisten, khususnya jika diteladankan oleh para pemimpin. Sebaliknya, pernyataan nilai-nilai inti akan menjadi bumerang jika para pemimpin perusahaan dinilai tidak menghidupi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai inti perusahaan menjabarkan sebuah perilaku mulai dari tataran idealisme hingga tindakan yang teramati.

 

  1. Komunikasi (Communication). Bagaimana sebuah harapan, standar, dan tujuan dikomunikasikan menjadi sangat penting dalam membangun budaya. Tidak hanya tentang isi, namun juga bagaimana pesan tersebut disampaikan. Cara kita memberikan respons atau menyampaikan sesuatu dapat dengan mudah membentuk sebuah perilaku tertentu. Misalnya respons negatif ketika menanggapi gagasan yang di luar kebiasaan cenderung akan mengurangi inisiatif dan menghambat keterbukaan. Komunikasi yang dimaksud melingkupi konteks normal maupun informal. Pembicaraan yang hanya terfokus pada pekerjaan juga cenderung tidak memperkuat empati dan bonding antar karyawan.

 

  1. Hubungan (Relationship). Menjadi elemen yang krusial karena kualitas hubungan adalah salah satu hal yang kita kelola dalam bekerja, baik dengan sesama karyawan (peer), atasan, bawahan, dan pelanggan. Relasi yang sehat membangun budaya yang sehat pula. Rasa memiliki akan visi, misi, dan nilai-nilai inti perusahaan lebih mudah merata jika hubungan interpersonal dalam perusahaan terjalin dengan baik. Sebaliknya, jika kualitas hubungan buruk, maka fenomena yang kontraproduktif akan muncul seperti ego-sektoral, persaingan yang destruktif, dan terbentuknya “suku-suku” kecil yang merasa memiliki musuh bersama.

 

  1. Komitmen Pemimpin (Leadership). Melakukan transformasi budaya sering kali berarti menambah kebiasaan baru tanpa komitmen sehingga hal ini akan dianggap membuang-buang waktu. Pada elemen ini penting bagi seorang pemimpin menunjukkan standar tentang apa yang relevan. Jika seorang pemimpin memberikan kesan bahwa program-program budaya tidak terlalu penting, maka karyawan juga akan memberikan bobot yang ringan sehingga kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan budaya tidak menjadi prioritas.

Apa itu Budaya Organisasi?

Budaya organisasi adalah pola perilaku kolektif individu-individu di dalam organisasi. Pola di sini berbicara mengenai sesuatu yang mudah dikenali, terprediksi, dan selaras. Pola apa saja yang dimaksud? Setidaknya ada 6 pola perilaku dalam konteks budaya. Berikut ini penjelasan dan contohnya:

 

  1. Working Habit – Kebiasaan kerja. Contohnya: bagaimana sebuah perusahaan bekerja dengan menjunjung kolektivitas dan kolaborasi, sementara yang lain percaya kemandirian lebih sesuai untuk mencapai efektivitas.

 

  1. Problem Solving – Pemecahan masalah. Contohnya: beberapa perusahaan mengedepankan gut feeling atau intuisi, lainnya mengedepankan etika, beberapa perusahaan mengandalkan ketersediaan data dan fakta, sedangkan yang lainnya berorientasi pada masa depan.

 

  1. Decision Making – Pengambilan keputusan. Beberapa perusahaan memerlukan tahapan yang kompleks untuk mengambil keputusan, beberapa lainnya sangat terpusat, sementara organisasi lain memberikan otoritas di berbagai level untuk mengambil keputusan secara mandiri.

 

  1. Communication Style – Gaya komunikasi. Perusahaan konservatif khususnya di Indonesia memegang standar sopan santun dalam berbicara, seperti menyebut jabatan atau menggunakan bahasa baku, sementara di perusahaan lain, karyawan bisa leluasa menyebut atasannya dengan nama saja tanpa rasa sungkan. Termasuk dalam berkoordinasi, banyak perbedaan gaya yang diterapkan di berbagai perusahaan berbeda.

 

  1. Reward & Punishment – Imbalan dan hukuman. Berbicara mengenai apa yang dihargai dan apa yang tidak bisa diterima, beberapa perusahaan melihat bahwa lembur adalah hal yang biasa dan cenderung menyenangkan, sedangkan di perusahaan lain malah menetapkan denda jika ada karyawan yang lembur.

 

  1. Acceptance & Rejection – Hal-hal yang diterima dan ditolak. Berbicara mengenai sikap yang dapat diterima maupun yang tidak, seperti bicara berdasarkan asumsi. Topik-topik percakapan yang dapat diterima dan tidak, bahkan skala “kecurangan” yang dapat ditoleransi atau tidak.

 

Budaya organisasi menjadi sebuah tema hangat yang sangat banyak dibahas saat ini. Munculnya beberapa perusahaan multi jutaan dolar yang masih berusia muda menjadi salah satu penggelitiknya. Mereka membuat kantor yang “berwarna” dengan fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh perusahaan konvensional pada umumnya. Membuat kantin gratis dan memperlengkapi kantor mereka dengan ruang bermain, menyediakan kapsul tidur dan ruang pertemuan lesehan, dan bahkan tanpa kantor!

 

Gagasan-gagasan ini bukan hal yang murah, dan bahkan tidak lumrah untuk kebanyakan perusahaan. “Bagaimana kapsul tidur dapat meningkatkan produktivitas?” Di sinilah kita harus melihat dari perspektif yang lebih komplit. Beberapa perusahaan buru-buru mengadopsi gaya tersebut, dengan investasi yang tidak sedikit mereka merancang kantor yang “kreatif” lalu mengendurkan peraturan-peraturan yang mereka miliki seperti membebaskan jam kerja, bahkan membudayakan power nap. Sayangnya pada beberapa perusahaan, keputusan ini tidak meningkatkan produktivitas, tidak merangsang inovasi, bahkan tidak berkorelasi dengan employee engagement.

 

Apa yang salah? Pada kenyataannya, budaya bukan hanya tentang kantor yang menarik dan indah yang disertai berbagai fasilitas yang mengikutinya. Budaya adalah hal yang tidak terlihat, kadang sulit dipahami, namun ia ada. Budaya yang mempengaruhi apakah orang dapat bekerja dengan optimal atau tidak, apakah mereka akan terinspirasi dari apa yang mereka kerjakan atau tidak, dan apakah mereka dapat memberikan kontribusi yang signifikan atau tidak. Jadi jelas, sekalipun lingkungan fisik merupakan faktor yang signifikan, tidak serta merta dapat kita gunakan untuk menilai sebuah budaya.

 

Kenyataannya, tidak ada organisasi yang tidak memiliki budaya. Semua organisasi apapun bentuknya, profit – non profit, formal – non formal, besar – kecil, pasti memiliki budaya. Yang menjadi krusial adalah apakah budaya yang dimiliki relevan terhadap tantangan bisnis? Apakah selaras dengan visi dan misi perusahaan? Apakah terdefinisi dengan baik? Dan yang paling penting, apakah budaya yang ada saat ini produktif dan membawa pertumbuhan yang signifikan baik dalam hal finansial dan skala perusahaan?

 

Google dan Apple diawali dari sebuah garasi sebelum membangun kantor yang “super”. Tetapi visi dan budaya mereka yang tidak tergoyahkan, sekalipun kantornya berubah seolah tempat rekreasi bagi beberapa orang. Jadi jelas bahwa setiap perusahaan memiliki budaya. Jadi, bagaimana Anda mendefinisikan budaya di perusahaan tempat Anda bekerja?